Setiap hari kita tidak pernah luput dari memandang lawan jenis, artinya kita selalu dituntut untuk berhadapan dengan seorang perempuan dalam kondisi apapun. Lalu, bagaimana pandangan Islam dalam menanggapi persoalan ini.
Didalam Kitab Fathul Qorib, Syekh Ibnu Qosim Al-Ghozi menjelaskan maqolah
Syekh Abu Syuja’ didalam kitab At-Taqrib, ada tujuh kondisi dimana kita
mendapatkan hukum dalam kasus ini.
Pertama
; melihatnya laki-laki kepada ajnabiyah (perempuan yang bukan
mahrom) tanpa ada hajat. Maka, harom hukumnya, walaupun perempuan tersebut berstatus
paruh baya yang lemah syahwat atau tidak mungkin lagi untuk berhubungan intim. Adapun jika terdapat hajat atau suatu kepentingan seperti halnya menjadi
saksi atas suatu perkara yang berkaitan dengan ajnabiyyah atau dalam
keterangan lain, seperti membeli sesuatu barang yang mana penjualnya adalah
seorang perempuan, maka, boleh dengan batasan hanya sesuai kebutuhan saja.
Kedua
; laki-laki memandang istri dan budak perempuanya. Maka, hukumnya boleh, dengan batasan diluar kemaluan. Namun, pendapat ini lemah. Syekh ibnu Qosim berkomentar bahwa melihat
kelamin istri atau budak yang ia miliki, hukumnya
boleh, hanya saja makruh.
Ketiga
; seorang laki-laki melihat mahromnya atau budak yang ia nikahi.
Maka, boleh hukumnya, dengan batasan diluar antara pusar dan kedua lutut. Adapun
dilain itu maka hukumnya menjadi harom.
Keempat
; melihat perempuan yang akan ia nikahi. Maka, boleh, hanya saja
wajah dan kedua telapak tangan, baik dalam atau luar telapak tangan. Sekalipun tanpa mendapatkan ijin dari
perempuan tersebut. Karena dalam keterangan lain seseorang bisa diketahui sifat
kepribadianya melalui telapak tangan, berdasarkan garis dan bentuk telapak
tangan yang ia miliki.
Kelima
; melihat dalam kondisi mengobati, seperti seorang dokter. Maka, boleh hukumnya, sekalipun sampai
kemaluan, akan tetapi, hal ini
harus didampingi oleh seseorang yang menjadi mahrom dari
pasien tersebut atau adanya perempuan lain.
Keenam ; seorang
laki-laki menjadi saksi atas perempuan. Maka, boleh memandangnya hanya sebatas
wajah. Kecuali, jika terpaksa harus melihat kelamin perempuan seperti dalam kasus zina dan sebagainya.
Ketujuh ; seseorang
yang akan membeli budak. Maka, boleh melihat apa yang ia butuhkan seperti layaknya membolak-balikan barang yang hendak ia beli. Tapi, tidak sampai melihat
aurotnya, yang mana aurotnya seorang budak adalah antara pusar dan lutut.
Lalu Bagaimana Melihat Foto ?
Buya
Yahya menjelaskan bahwa melihat foto seperti halnya dalam sosial media yang
sangat mudah sekali kita menemukan foto-foto wanita yang bukan mahrom kita.
Maka, masih dihukumi boleh selama masih menutup aurat. Tapi ingat, ini hanya sebatas
melihat tentangnya, tidak sampai timbul bayangan yang menggairahkan. Seperti halnya
membayangkan begitu bagusnya bibir perempuan itu dan sebagainya, yang mana
pikiran-pikiran tersebut akan memunculkan kemaksiatan yang baru.
Kesimpulan yang harus selalu kita ingat dan kita yakini adalah secara garis
besar hukum memandang ajnabiyyah atau wanita lain adalah suatu yang
dilarang, tapi, hal ini sulit sekali untuk kita hindari, kita lebih merasa
santai bahkan acuh terhadap persoalan ini, karena kita menganggap bahwa
persoalan ini adalah hanya menjadi sebab munculnya dosa kecil, yang mana sangat
mudah bagi Allah untuk mengampuninya. Tapi perlu kita ingat, sedikit demi
sedikit, akan menjadi bukit. sesuatu akan menjadi besar jika kita terus menerus
memupuknya, kita akan terus tenggelam sampai kita merasa sangat sulit untuk
keatas. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmatNya untuk kita semua, sehingga
kita dapat mudah menghindari kesalahan-kesalahan yang ada disekeliling kita.
Wallahu a’lam.
Komentar